“Kita harus cepet-cepet pergi dari rumah ini! Rumah ini berhantu!”
“Ly..” potong Reyna yang nggak pernah percaya sama omonganku.
“TURUTIN GUE KENAPA SIEEHHH!”
Akhirnya mereka mau nurutin perkataanku dan ngebantu aku buat buka pintu
yang sudah terkunci ini, hingga akhirnya Azzam nyelentuk dengan
bijaknya.
“Mending kita lewat pintu belakang rumah aja, Ly. Tadi gue sama sama
Dika sempet nemuin pintu belakang rumah Shania yang masih terbuka.”
“Azzam benar!” Dika tambah meyakinkanku. Dalam keadaan kacau seperti
ini, aku juga ikut sejutu karena nggak ada pilihan lain lagi untuk
keluar dari rumah hantu ini. Kecuali lewat pintu belakang rumah.
Kemudian kami segera berbalik badan dan mencari jalan keluar ruangan
lain. Tiba-tiba.. sosok cewek berwajah menyeramkan dengan mukanya yang
dipenuhi luka memar juga berlumuran darah itu berdiri di depan kami
berempat. Yang lebih mengerikan lagi, sosok hantu itu berdiri dengan
jarak yang begitu dekat dengan kami semua. Alhasil kami menjerit dengan
kompak.
“Aaaaa…aaa!”
“Kalian nggak akan bisa pergi kemana-mana!” ancam hantu itu. “Kalian harus mati bersamaku disini!”
“Aaaa…aaaa!”
“Kaa…abbuurrr!” jerit Dika mengisyaratkan kami cepet-cepet kabur. Kami
langsung berhamburan kemana-mana. Tapi.. kemana pun kami berusaha kabur,
hantu itu tetap aja mengikuti kami dan berdiri di depan kami secara tak
terduga.
“Aaaaa…aaa!”
Ruangan rumah Shania gelap banget dan menyulitkan aku untuk mencari
jalan keluar bersama temen-temen segengku. Hingga akhirnya, aku terpisah
dari mereka bertiga.
“Reyna! Dika! Azzam! Dimana lo semua! Gue takut!” teriakku sesaat di
sebuah lorong kecil. Suaraku kedengerannya menggema dari tempat ini. Aku
semakin mundur dan aku bingung mau keluar lewat mana.
“Gue mau pulang! Gue mau pulang! Jangan terorin gue terus!”
Hiks.. hiks.. hiks! aku jadi nangis sendirian.
Sesaat.. aku kayak menginjak sesuatu yang empuk di kakiku.
“Apaan ini?!” ujarku sesekali dengan nada terisak.
“Ly…” suara misterius memanggil namaku lagi, dengan nada yang begitu
lirih karena kesakitan. “Tolong aku Ly, aku disini. Di bawah kakimu..”
Lantas aku memberanikan diri menunduk ke bawah kakiku. Dan menoleh ke
belakang saat kulihat seonggok mayat tergeletak penuh darah di lantai.
“Aaaaaa! Ma.. ma… mayattt!”
Gubrak! Suara hantaman pintu terbuka untukku. Cahaya dari dalam itu
terlihat redup dan terdengar desir angin yang mempermainkan rambutku.
Aku berjalan dengan nafas terengah-engah. Dengan desah nafas yang nggak
karuan juga keringat dingin yang bercucuran keluar, aku masuk ke dalam
ruangan kecil itu.
Gubrakk! Pintu itu tiba-tiba menutup sendiri.
“Buka!” aku mengedor-ngedor pintu itu dengan keras dan
mengoyang-goyangkan handle pintu itu yang udah karatan. “Dika! Reyna!
Azzam! Tolongin gue! Tolongin gue!”
Hiks… hiks… hiks…! aku lagi-lagi menangis dan ngerasa putus asa
akibat jebakan rumah hantu ini. Disaat aku nyaris putus asa, hantu cewek
itu selalu muncul di hadapanku dan mukanya kelihatan serem banget.
“Aaaaa…aaa!” aku menjerit dengan histerianya.
“Pergi! Jangan ganggu gue!”
“Lily, jangan takut.” Kata hantu itu menyentuh tungkai kakiku. “Aku nggak akan nyakitin kamu dan teman-temanmu.”
“Dan, bukan maksud aku buat nakut-nakutin kalian.”
Aku diam dan mengusap air mataku sekejap. “Trus, kalau kamu nggak
nakut-nakutin aku kenapa kamu neror aku?!” aku bersandar di pintu dan
menghindar jauh dari tatapan mata hantu itu. Walau aku tahu, ternyata
hantu itu adalah Shania yang aku kenal beberapa hari lalu.
“Aku ingin minta tolong sama kamu. Dan aku janji, setelah ini aku nggak akan ngangguin kalian lagi.”
Aku menghela nafas sebentar. Dan dengan ragu-ragu aku jawab, “Mi.. minta tolong buat apa?”
“Keluarkan aku dari tempat ini, Ly. Aku nggak bisa istirahat dengan
tenang kalau belum ada orang yang mau ngeluarin aku dari sini.”
Aku terhenyak dan menekuk dua kakiku.
“Sebenarnya, bukan kamu aja yang pertama aku datangin. Ada banyak
warga desa ini yang sering aku datangin, terutama eyangmu. Tapi.. mereka
malah ketakutan dan mengusir aku, Ly.”
“Aku nggak tahu harus minta tolong sama siapa lagi kalau bukan sama kamu dan yang lain.”
Kedengerannya, pengakuan Shania rada miris dan menyedihkan banget.
Bagaiamana orang lain mau nolongin dia, kalau wujudnya nyeremin begini?
tapi, kalau cuma aku dan temen-temen yang bisa nolongin dia, aku harus
melakukannya apapun itu. Asalkan kami nggak diganggu lagi dan bisa hidup
dengan tenang.
Aku kemudian mendekat dan memberanikan diri untuk menyentuh bahu
Shania yang dingin membeku itu. Kutangkap sorot matanya yang sayu dan
menyembunyikan kesedihan yang amat berat untuk diungkapkan padaku.
“Shan,” panggilku. “Hmm, sorry ya. Kalau boleh tanya, apa yang membuat kamu mati dalam keadaan seperti ini?”
Ia menoleh dengan cepat tanda merespon pertanyaanku.
“Ceritanya udah lama, Ly. Sejak delapan tahun yang lalu.”
Lantas aku mendekat dan menyimak ceritanya. Begini ceritanya..
Dulu, kira-kira waktu aku kelas lima SD aku pernah denger kasus
tentang hilangnya seorang mahasiswi yang belum bisa diketemukan hingga
sekarang. Dan, mahasiswi yang hilang itu adalah Shania sendiri.
Ceritanya bermula saat Shania pulang kuliah, dia dibekap oleh empat
orang cewek yang seusia dengannya. Mereka menculik Shania dan
menyembunyikannya di rumah ini, tepatnya di dalam gudang tempatku
berada. Shania disekap selama satu minggu dan dia mengalami penyiksaan
secara bertubi-tubi oleh mereka.
Asal punya usul, ternyata salah satu cewek yang menyiksa Shania
adalah temen sekampusnya sendiri. Dan dia adalah mantan pacar Bram.
Pacar Shania. Dia menyiksa Shania karena nggak bisa menerima kematian
Bram akibat kecelakaan mobil bersama Shania. Bram meninggal, sedangkan
Shania selamat. Dan itu membuat mantan pacar Bram menyimpan api dendam
sama Shania. Sebenarnya, Shania pernah mencoba kabur. Tapi dia keburu
kepergok orang-orang jahat itu. Akhirnya.. sebagai hukuman fisik buat
Shania, mereka menjatuhkan batu semen yang beratnya beberapa kilo ke
tubuh Shania berkali-kali hingga tewas.
Hiks… hiks… hiks…! nggak terasa aku meneteskan air mataku saat denger
cerita menyedihkan dari Shania. Aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi,
selain aku ngebayangin bagaimana rasanya Shania mengalami hal-hal kejam
itu yang mendera tubuhnya secara berubi-tubi. Pasti menyakitkan banget
kalau aku ada di posisi Shania.
“Shan,” isakku kemudian. Aku rada sesegukan sambil lanjut bicara,
“Jujur, kalau aku jadi kamu dan aku meninggal. Aku ingin nyambangin
mereka semua dan melampiasakan dendamku karena mereka udah menghancurkan
hidupku dengan cara tragis kayak gini.”
Shania menggeleng dan dia mengulas senyum manisnya lagi. sesaat, aku
nggak melihat wajahnya yang dipenuhi luka memar itu. Tapi.. wajahnya
terlihat indah dan bercahaya saat senyum padaku.
“Enggak, Ly. Buat apa aku harus melakukan hal itu cuma ingin
melampiasakan dendamku sama mereka. Biar Tuhan yang menghukum mereka,
karena DIA-lah yang berhak melakukan-NYA. Yang aku inginkan tak lain
adalah, aku ingin istirahat dengan tenang dan melihat ibuku bahagia.”
Hiks.. hiks… hiks… aku lagi-lagi menangis saat denger ucapan penuh sendu
haru Shania. Bagaiamana tidak? Dia mengalami siksaan yang pedih tapi
dia mau memaafkan empat orang yang udah nghancurin hidupnya itu. Apalagi
sampai memikirkan keadaan nyokapnya. Oh tuhan! Kusentuh bahu Shania
lagi, dan dia masih tersenyum padaku.
“Trus gimana aku bisa keluarin kamu dari sini, Shan?”
“Pergilah ke belakang rumah ini. Disana ada pohon asem dengan batu besar
yang ada di dekatnya. Galilah tanah di bawah batu besar itu, temukan
juga jasadku disana dan kuburkanlah aku dengan layak.”
“Lily!” panggil Reyna menemukan aku tengah terduduk diambang pintu gudang.
Aku berdiri dan kupeluk Reyna dengan erat. “Lo kemana aja? Gue, Dika
sama Azzam sampai kelimpungan nyariin elo. Ternyata elo malah
enak-enakan duduk di sini.
“Gu.. gue…” aku menoleh ke arah Shania, Dang!
Aku terperanjat, saat Shania menghilang begitu aja.
“Kita harus bantuin Shania, Reyn! Kita harus bantuin Shania keluar dari tempat ini!”
Mereka kompak melongo dan saling bertatapan mata. Nggak ngerti apa yang aku bicarakan.
“Heh, Ly! Shania tuh hantu. Udah deh, mending kita keluar aja dari tempat ini. Lagian elo juga ingin pulang kan dari tadi?”
“Iya, Reyn! Gue tahu, Shania memang hantu. Tapi dia butuh pertolongan sama kita!”
“Ly!” panggil Reyna menyusulku. “Ih, tuh anak kenapa sih?! tadi minta
pulang, sekarang malah minta bantuin Shania! Ashh, plin plan amat sih
tuh anak!” gerutu Reyna dengan terpaksa menyusulku pergi ke suatu
tempat.
“Ly, tungguin kita dong!”
Aku nggak gubris mereka. Justru aku mencari pohon asem yang disebutkan
oleh Shania tadi dan batu besar yang ada di dekatnya. Dan.. memang
bener! Ada pohon asem lengkap dengan batu besar disitu. Aku buru-buru
pergi kesana, tapi si Reyna, Azzam dan Dika masih berdiri disana nggak
tahu mau ngapain. Aku mendekati batu itu dan melihat ada sedikit ukiran
kasar di permukaannya. Meski semua ukiran itu tertutupi oleh tumbuhan
lumut. Lantas, aku menyingkirkan lumut itu hingga aku mendapati ukiran
yang bertulisan jelas. ‘SHANIA WIJAYANTI’
Ya! Itu pasti kuburannya Shania. Dan jasad Shania terkubur selama delapan tahun di bawah batu ini.
“Temen-temen! Gue nemuin sesuatu disini! Cepetan kesini!”
Lantas, kudengar suara kaki mereka menginjak daun-daun kering itu dan menghampiriku.
“Gue yakin, di sini pasti ada jasad Shania. Kita harus ngeluarin jasad Shania dari sini!”
“Darimana lo tahu, Ly?”
“Shh! Ceritanya panjang, yang terpenting kita harus bisa ngeluarin jasad
Shania. Kalau urusannya udah kelar, baru aku ceritain semuanya tentang
Shania tadi.”
Saat kami berusaha menyingkirkan batu besar itu, tiba-tiba ada yang orang yang nyelentuk dari kejauhan sana.
“Eh, ngapain kalian disitu?” tanya seorang bapak-bapak pembawa cangkul di pundaknya.
“Ini pak, kami mau menyingkirkan batu besar ini. Kami akan menggali tanah disini dan ngeluarin jasad seseorang dari sini.”
“Hhh? Jasad? Nggak ada orang mati disitu! Adanya disana tuh!” ujar
bapak-bapak itu dengan cepat menunjukkan kami pada kuburan yang letaknya
dibalik rimbunan pohon bambu di sebrang sana. Samar-samar aku bisa
melihat beberapa batu nisan yang berjejeran tak teratur. Itu memang
kuburan, yang letaknya terpisah dengan rumah Shania.
“Pak, iya saya tahu! Tapi ada jasad yang udah lama terkubur di sini. Boleh saya pinjam cangkul bapak buat menggali tanah ini?”
Sekilas, bapak-bapak itu cuma menggeleng kepala antara percaya dan
nggak percaya dengan omonganku. Dia akhirnya menghampiri kami dan
meyerahkan cangkulnya pada Dika. Dia mulai menggali tanah secara
bergantian bersama Azzam dan bapak itu.
“Nduk! Kamu darimana aja?” tanya eyang ketika menemukan kami berempat
di rumah kosong dan masih sibuk menggali tanah. “Tahu ndak, enyang sama
pak RT juga para warga sekitar geger nyariin kamu! Enyang kirain kamu
sama temen-temenmu ilang digondhol demit!”
“Hhh? Digondhol setan? Siapa bilang?” tanyaku hampir nggak percaya.
Kenapa eyang dengan mudah percaya tentang tahayul kayak begituan. “Yang,
maafin Lily kalau kami bikin khawatir eyang. Lily sama kawan-kawan lagi
menggali tanah disini.”
“Lho, buat apa tho nduk?”
“Gini.. Yang, Lily yakin disini ada tempat mahasiswi yang hilang sejak
delapan tahun yang lalu. Dia sudah meningal, dan jasadnya terkubur
disini.”
“Apakah kamu yakin disini tempat mahasiswi yang hilang itu, nak?” tanya pak RT kemudian.
“Iya Pak, saya yakin. makanya saya dan temen-temen coba menggali tanah ini,”
“Ya sudah, kalau memang kamu tahu tentang mahasiswi itu. Tunjukkan pada
kami dan kami akan segera bawa kasus ini kepihak yang berwajib!”
Akhirnya pak RT menghimbau beberapa warganya turut serta menggali
tanah itu. Tanahnya cukup dalam dan membutuhkan waktu yang tidak
sedikit. Akhirnya..
“Aaaaa!” tiba-tiba Dika menjerit spontan saat melihat beberapa kerangka manusia yang teronggok di gundukan tanah itu.
Ya! Itu pasti kerangka Shania yang sudah selama bertahun-tahun terkubur
disitu tanpa ada yang mengetahuinya kecuali aku. Beberapa warga turun ke
dalam galian tanah lebar itu bersama Azzam dan mengumpulkan kerangka
Shania di tempat seadanya. Untuk divisum ke rumah sakit.
Akhirnya, semua kasus Shania hampir menemukan titik terang tentang
siapa yang telah menjadi pelaku menyiksaan dan pembunuhan sadis
mahasiswi itu. Aku mulai kebanjiran panggilan ke kantor polisi karena
aku sebagai saksi. Sedangkan jasad Shania udah dimakamkan di kampung
halamannya di Jogja sekitar beberapa hari yang lalu.
Sekarang, tiba saatnya aku dan ketiga teman-temanku berpamitan pulang
pada enyang. Ya, liburanku disini sudah cukup puas. Kami berempat harus
balik ke kota asal kami buat mempersiapkan kuliah. Walaupun sebenarnya
aku masih betah berlama-lama disini. Dan masuk kuliahnya pun juga masih
lama, seminggu lagi.
“Yang, Lily dan kawan-kawan pamit pulang ya.” Ucapku kemudian sambil mencium punggung tangan keriput eyangku.
“Iya, duk. Hati-hati di jalan ya, dan sampaikan salam enyang pada ayah ibumu di Solo.”
“Iya, Yang. Lily bakal sampaikan salam eyang ke mama papa kok. jaga diri
baik-baik ya, Yang.” Kemudian, eyang memelukku dan mencium dahiku
dengan lembut. Akhirnya, kami berempat meninggalkan rumah eyang dan
berjalan beberapa langkah ke arah pertigaan jalan.
“Lily!” tiba-tiba ada suara orang yang manggil namaku. Dan itu, suara Shania.
Kami berempat langsung berbalik saat lihat Shania menghampiri aku.
“Hmm, Lily. Makasih banget ya, kamu mau bantuin aku. Kalau bukan kamu,
mungkin aku nggak akan bisa istirahat dengan tenang sekarang.” Ucap
Shania mengenggam tanganku.
“Iya kok, Shan. Sama-sama. Lagian, udah jadi kewajiban kita buat
nolongin sesama makhluk yang lagi butuhin sesuatu.” Aku tersenyum pada
Shania.
Shania memelukku dengan erat. “Hati-hati di jalan ya.”
Dia lantas melepas pelukannya di tubuhku dan tampak melepas kalung emas yang melingkari leher jenjangnya.
“Sebelum kamu pulang, aku mau ngasih kenang-kenangan ini buat kamu.
Meski itu cuma kalung emas yang pernah kupakai saat aku hidup, benda itu
sebagai tanda kamu pernah berteman sama aku dan sebagai tanda balas
budiku karena kamu mau nolongin aku.”
“Ambil ya, Ly. Dan kenanglah aku lewat kalung yang kamu pakai itu.” Kata
Shania sambil menyelipkan kalungnya di telapak tanganku.
“Makasih ya, Shan.” Aku memeluknya sekali lagi. “Melalui kamu, aku bisa
mendapatkan kenangan yang nggak pernah kubayangkan dan nggak pernah
kurasakan sebelumnya. Apalagi tentang pengalaman menakutkan ini.”
Kami jadi terkikik. Dan.. ini lagi deh, si Dika mulai nyerobot-nyerobot. Tanda efek play boy nya mulai mencuat keluar.
“Shania.” Panggil Dika dengan suara sok imut dan romantis.
“Iya,” respon Shania dengan suara lemah lembut.
“Boleh aku minta kenang-kenangannya dari kamu?”
“Boleh kok, emangnya Dika mau minta kenangan apa dari Shania?”
“Cium aku dong,” kata Dika menunjukkan pipinya yang rada kasar campur mulus itu.
“Wooo…ooo!” kami langsung menyoraki Dika denga meriah.
“Hoeekkkk! Amit-amit deh cewek secantik Shania mau nyium nyamuk jingklong segedhe Dika!” celentuk Azzam.
“Diem lu!”
“Oh, boleh kok. Dika,” ucap Shania masih senyum. Spontan, Dika jadi
heboh sendiri. Dan siap-siap dengan pipinya yang dideketin di depan muka
cantik Shania.
Cupp! Satu ciuman maut mendarat di pipinya dengan sukses. Alhasil Dika jadi terhuyung-huyung karena mau pingsan.
“Aduh, mak! Dika dapet ciuman dari hantu cantik nih. duhh, jadi klepek-klepek dahh! Mantapp!”
“Hmm, ya udah. Kami pulang dulu ya, Shan.” Kataku akhirnya menutup
obrolan kecil kami. Sementara Azzam dan Reyna lagi repot membopong tubuh
Dika yang lagi dimabuk kasmaran.
“Dahh!” aku dan melambaikan tanganku ke arah Shania sebentar dan kususul mereka yang berjalan ke pinggir jalan raya.
Sementara itu… Shania lekas berbalik badan dan menampakkan wujudnya yang
mengenaskan. Dia berjalan ke arah kebun pak Usman. Semakin jauh ia
melangkah pergi, dan akhirnya dia menghilang tanpa jejak.
Cerpen Karangan: Tammy Jaxndear
Facebook: Tammy Luph DaddyMj